PANCASILA

Minggu, 27 Februari 2011

Orang akan kembali percaya kepada Pancasila kalau nilai-nilai sudah dibuktikan?
Penjabaran :
Pancasila.
Istilah Pancasila selalu berkumandang pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan HM
Soeharto. Apa saja selalu dikaitkan dengan Pancasila. Begitu pula dengan Undang-Undang
Dasar 1945 selalu dibicarakan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua istilah sangat
popular, bahkan selalu menjadi slogan Orde Baru.Kita tentu masih ingat tentang P-4
(Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang disosialisasikan dalam dunia
pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal. Istilah Penataran P-4 tidaklah asing
bagi generasi muda kala itu. Selanjutnya buat mereka yang aktif dalam organisasi social
kemasyarakatan dan politik, istilah asas tunggal Pancasila juga ramai dibincangkan.Sama
halnya dengan Pancasila, istilah UUD 1945 juga selalu ditekankan oleh para elit Orde Baru.
Mereka kala itu selalu menyebut-nyebut UUD 1945, terlebih ketika hendak menyusun atau
membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan. Pidato para pejabat selalu
mengaitkannya kepada konstitusi tersebut.Tak pelak lagi, Pak Harto sebagai Presiden,
mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan tokoh utama dalam
mensosialisasikan Pancasila dan UUD 1945. Boleh disebut, Pak Hartolah yang secara tegas
menyatakan bahwa pedoman, pegangan, landasan, acuan utama kita dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945.



Kita harus melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,” ucap Pak Harto dalam tiap
Penekanan kata murni dan konsekuen dipahami sebagai tidak perlunya lagi kita mengusik,
mengotak-atik Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana apa adanya seperti yang ditetapkan
pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Bung
Karno dan Bung Hatta. Guna mengamankan konstitusi, perubahan UUD 1945 hanya
dimungkinkan jika melalui persetujuan lewat referendum.Dalam perjalanannya, mengingat
begitu kuatnya penekanan tentang pentingnya Pancasila dan UUD 1945 masa Orde Baru,
banyak orang merasa bosan, jenuh atau bahkan menjadi antipati. Terlebih lagi memang
upaya mensosialisasikan dasar Negara dan konstitusi tersebut oleh elit Orde Baru kala itu
seolah tidak ada jemu-jemunya, bahkan cenderung seolah seperti tidak ada kata henti.
Kesan pemaksaan sering dijadikan alasan untuk menolak Pancasila. Sementara, banyak
pula yang melihat berbagai prilaku, tindakan atau perbuatan, baik oleh pejabat maupun
anggota masyarakat, dinilai menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila yang
disosialisasikan dan dilestarikan itu. Akhirnya ketika gerakan reformasi menerpa kita
semua dan Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, Pancasila dan UUD 1945 ikut pula
dilengserkan. Sosialisasi Pancasila lewat P-4 dihentikan. BP-7 (Badan Pelaksanaan
Pendidikan dan Pengkajian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lembaga
penyelenggara P-4 dibubarkan. Sementara UUD 1945 diamandemen hingga 4 kali sehingga
kini konstitusi kita dinilai betul-betul sudah menjadi baru, tidak lagi sama dengan apa yang
dirumuskan para founding father.Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lantas apakah dengan kita
melengserkan Pancasila dan UUD 1945, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara kini menjadi jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru? Apakah berbagai
krisis ekonomi,
krisis multi dimensi sebagaimana terjadi pada penghujung masa Orde Baru sudah teratasi?
Sudah tentu jawabannya tidak dapat dinyatakan secara hitam putih. Hal yang pasti,
permasalahan yang dihadapi masa sekarang tampaknya tidak banyak beranjak jauh,
terutama yang dirasakan oleh rakyat kalangan menengah ke bawah. Sementara untuk di
kalangan sebagian elit secara pribadi-pribadi, kelompok atau golongan tentu saja menilai
banyak jauh meningkat pada kondisi saat ini. Terlebih bila kita memang total melupakan
Pancasila dan UUD 1945.Nah, dari kondisi saat ini yang dinilai masih gonjang ganjing
itulah, sementara pihak melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan kita. Mereka
melihat kita selama ini ternyata ibarat “buruk rupa cermin dibelah.” Maksudnya, wajah kita
yang buruk tapi malah yang kita rusak adalah cermin, alat bagi kita untuk dapat melihat
siapa kita. Lebih jauh, dapat pula bagaikan: “kita tak pandai menari, lantai yang dibilang
goyah.” Selain itu dapat pula ibarat: “pesawat yang gagal diterbangkan tapi landasan yang
dipersalahkan.”Kenyataan tersebut membuat ada penilaian yang menyebutkan kita kini
dalam kondisi memprihatinkan. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional
bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar Negara Pancasila, sebagai sistem
ideology nasional karenanya, elit reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan
budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia
mengalami erosi jati diri nasional!” Kalau kita melihat masalah Undang-Undang Dasar
1945 dan Pancasila. Ketiganya terlihat sepakat bahwa saat ini kita sudah melenceng atua
bahkan cenderung sudah mengabaikan penerapan substansi dari konstitusi dan ideologi
Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh para founding father, bapak bangsa.
Penyelenggaraan kehidupan bermasyarkaat, berbangsa dan bernegara saat ini tidak lagi
memakai acuan UUD 1945 dan Pancasila.Masa Orde Baru sudah memulai menanamkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam pikiran kita. Selanjutnya sudah pula terus diucap-ucapkan
dan banyak pula dicoba diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dasar Negara dan konstitusi warisan founding fathers itu tidak disosialisasikan
dalam waktu singat tapi makan waktu cukup lama, lewat proses dialog yang panjang.
Lewat musyawarah mufakat yang tidak langsung begitu saja disetujui.Bayangkan,
penerimaan Pancasila sebagia satu-satunya asas buat organisasi sosial politik dan
kemasyarakatan baru disepakati pada Sidang Umum MPR 1983, sekitar 15 tahun setelah
Orde Baru. Itu pun tidak langsung diterapkan karena dibuat dulu undang-undangnya.
Sementara sampai berakhirnya Orde Baru, sebenarnya upaya sosialisasi dan pelestariannya
masih terus dilakukan.Sungguh saying, euphoria reformasi telah membuat kita lupa, mana
yang harus tetap dipertahankan dan mana yang harus dibuang. Kita terlalu emosional
sehingga semua produk Orde Baru dianggap keliru. Padahal yang keliru adalah dalam
tararan operasional yang memang dimungkinkan dapat saja belum sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.Hal paling menarik, kita melihat seolah Pancasila dan UUD 1945 adalah
produk Orde Baru.

Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
hanyalah
rekayasa, sebuah kepentingan kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itulah agaknya kenapa
kita kini merasa tidak penting lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Bukankah hal ini sangat naïf jika kita seharusnya mau menjunjung tinggi
warisan para founding father?Founding father ibarat orangtua dalam kehidupan keluarga.

Dari kacamata agama, kita sebagai anak harus berbakti kepada orangtua. Artinya, warisan
dan nilai-nilai yang ditinggalkan sebagai amanat orangtua harus kita junjung. Kalau tidak,
kita dapat kualat, menjadi anak durhaka. Berbagai bencana yang terus melanda, krisis dan
masalah yang terus menghinggapi rakyat kita, boleh jadi sebagai pertanda Tuhan menegur
kita karena kita kualat atau durhaka.Tampaknya, memang mau tidak mau kita harus
kembali memakai wacana “mari melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.” Oke saja, titik tolaknya tidak dengan melihat apa yang dilakukan pada masa
Orde Baru dan juga Orde Lama. Melainkan mari kital ebih jauh back to basic, melihat
langsung sejarak produk awal lahirnya dasar Negara dan konstitusi yang kemudian
ditetapkan pada 18 Agustus 1945. mungkin dari sini kita akhirnya dapat kembali
membangun semangat Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya
semangat Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan
jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah
dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi
perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Karena Pancasila merupakan
ideology dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong
usaha dalam menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan
meyakinkan tentang Pancasila sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi
bangsa Indonesia. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri
diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains
tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara
memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau
sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominant kepada
seluruh anggota masyarakat (definisi ideology Marxisme).Untuk bisa melihat Pancasila
sebagai lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya Pancasila. Pancasila adalah sebuah
istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya di siding BPUPKI tanggal 1 Juni
1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sedikit dari kita yang masih
mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan Pancasila yang
kita kenal sekarang.Secara histories, selama ini kita telah salah memahami Pancasila.
Banyak orang mengira, Pancasila itu adalah sesuatu yang murni diciptakan oleh Soekarno,
dan merupakan sebuah karya yang digali dari perut bumi Nusantara. Itu, jelas, tidak
seluruhnya benar, namun tidak juga semuanya salah.Yang benar adalah, apa yang
dirumuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 itu, merupakan kristalisasi dari pemikirannya
sejak 1926. Kita tahu, pada tahun itu, Soekarno menulis sebuah buku yang dia beri judul
Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nah, dari sinilah kemudian Soekarno mulai
mengembangkan pemikirannya hingga 1940-an. Kemudian, ada orang bilang, Pancasila itu
digali dari
warisan asli Indonesia. Kata siapa? Kalau benar itu warisan asli bumi Indonesia, mengapa
Soekarno dalam Lahirnya Pancasila menyebut pemikiran Lenin, Sun Yat Send an beberapa
ahli lainnya? Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta,
dengan revisi sila pertama. Pancisa versi Bung Karno adalah seperti ini :
1.Kebangsaan2.Internasionalisme atau kemanusiaan3.Mufakat dan
demokrasi4.Kesejahteraan sosial5.Ke-Tuhanan Yang Maha EsaBung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah bangsa
yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan.
Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat mempertanyakan kenapa Bung Karno
menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir.

 
MONGGO © 2011 | Designed by VPS Hosts, in collaboration with Call of Duty Modern Warfare 3, Jason Aldean Tour and Sister Act Tickets